Biarkan Dia dengan Caranya

waktu masih pakai satu roda bantu

waktu masih pakai satu roda bantu

Melihat anak-anak di komplek perumahan kami bersepeda, Mbak Aish juga ingin punya sepeda. Bukan sepeda bayi yang beroda tiga seperti yang sudah dia miliki tapi sepeda roda dua yang diberi roda bantu. Akhirnya saya dan suami membelikan sepeda impiannya itu padahal waktu itu usianya belum genap tiga tahun.

Mbak Aish semangat sekali untuk bisa menaiki sepedanya, meski hanya di dalam rumah. Meski ada roda bantu, bukan berarti dia bisa langsung mengayuh dan membuat sepedanya melaju. Itu yang kadang-kadang membuatnya malas belajar naik sepeda. Kalau sudah begitu, dia hanya menaiki sepedanya dan mengayuh ke arah belakang. Tentu saja sepedanya tidak bergerak.

Tapi semangat untuk bisa rupanya mengalahkan rasa malasnya. Dan ketika akhirnya dia bisa mengayuh ke depan dan sepedanya bergerak, kami senang sekali. Dia pun akhirnya menaiki sepedanya di jalan, bukan di dalam rumah lagi.

Setelah bisa rupanya dia mulai bosan. Selain itu, sepedanya juga sering sekali rusak. entah banya, rantainya pokoknya ada saja yang rusak. Lama-lama bermain sepeda mulai dilupakan. Apa lagi teman-temannya juga sudah tidak antusias bersepeda. Hanya sesekali saja dia menaiki sepedanya.

Seperti musim yang selalu datang dan pergi, bersepeda akhirnya menjadi trend kembali di kalangan anak-anak sebaya Mbak Aish. Kali ini mereka mulai serius bersepeda. Roda bantu mulai dihilangkan satu. Bahkan ada yang sudah bisa tanpa roda bantu.

Sepeda warna pink yang sekian lama mangkrak akhirnya mulai dilirik kembali oleh si kriwil. Sayangnya rantai dan bannya rusak. Mbak Aish harus menunggu sepedanyiperbaiki dulu sebelum bisa menaikinya. Sekalian memperbaiki, saya dan suami memutuskan untuk melepas satu roda bantu.

Awalnya anak cantik saya itu jadi rewel karena merasa bakalan tidak bisa. Tapi lama-lama akhirnya dia bisa juga. Setelah dua minggu, saya minta daddy-nya untuk melepas roda bantu yang satu lagi.

Mbak Aish kembali rewel. Saya dan suami berkali-kali membujuk dan mengajarinya cara naik sepeda tanpa roda bantu tapi dia tetap tidak mau. Dibantu dipegangi juga tidak mau. Saya agak kesal. Tapi akhirnya membiarkan anak saya mengikuti kemauannya. Tidak ada gunanya juga memaksa kalau dia tidak ingin.

Diam-diam Mbak Aish mulai menyentuh sepedanya lagi. Tapi dia menaiki dengan cara yang aneh. Duduk di boncengan dan membuat sepeda melaju dengan kakinya. Bukan mengayuh pedalnya, tapi kakinya seperti berjalan biasa hanya saja dia duduk di atas sepeda.

Sebagai ibu-ibu yang cerewet, saya kembali menegur Mbak Aish. Saya takut kakinya capek atau sakit. Apa lagi dia bersepeda dengan cara itu sampai ke mana-mana bersama teman-temannya yang sudah bisa mengayuh sepeda.

Omongan saya lagi-lagi nggak laku. Mbak Aish tetap bersepeda dengan gayanya sendiri. Saya sampai usul ke suami agar melepas saja boncengan sepedanya. Hingga suatu pagi, saya dan suami melihat dia mulai mengayuh sepedanya. Meski dia tetap duduk di bagian boncengan. Awalnya masih meliuk-liuk. Lama-lama dia bisa menjalankan sepedanya dengan lancar.

Setelah dia mulai ahli dengan teknik itu, saya menganjurkan dia untuk pindah depan. Tidak duduk diboncengan lagi. Meski sempat ngeyel, akhirnya dia lakukan juga. Dan ternyata dia langsung bisa.

Kami semua senang. Mbak Aish akhirnya bisa naik sepeda. Meski itu awal dari masalah baru, dia bisa bermain lebih jauh. Kali ini saya ingin menghilangkan sepedanya he he he…

Tapi saat anak saya belajar naik sepeda, rupanya saya juga sedang dibuat belajar untuk menjadi ibu yang baik. Ibu yang tidak memaksakan kehendak pada anak dan membiarkan anak memilih sesuatu yang lebih pas dan lebih baik untuk dirinya.

Leave a comment